Dabus adalah kesenian yang mempertunjukkan kemampuan manusia luar biasa, seperti kebal terhadap senjata tajam, api, atau minum air keras dan lain-lain. Menurut catatan sejarah, dabus ini sebenarnya ada hubungan dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nurrudin ar-Raniry ke Aceh pada tahun 1637 M. Dabus ini pada awalnya bukanlah sebuah tarian, melainkan salah satu jenis seni bela diri. Oleh karena itu, tarian ini dikenal juga dengan tarian kepahlawanan, karena memperlihatkan “keluarbiasaan” dalam pertunjukannya. Tarian ini hingga sekarang masih berkembang di daerah yang berkebudayaan Melayu.
Dalam sejarah kesenian Melayu, dabus tidak sekedar hiburan semata, tetapi juga sebagai kontribusi untuk mempertahankan kedaulatan serta mengangkat martabat suatu bangsa, seperti yang pernah terjadi di Perak, Malaysia pada masa penjajahan Belanda (1680-1690). Pada waktu itu, ada pahlawan Melayu, bergelar Panglima Kulop Mentok yang sangat membenci penjajah Belanda. Ia menyerang tentara-tentara Belanda dengan menggunakan ilmu dabus, sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Karena kalah, tentara Belanda yang masih hidup akhirnya melarikan diri dan meninggalkan daerah yang direbut oleh Panglima Kulop Mentok tersebut. Namun, dalam konteks kekinian, dabus ini hanya bertujuan untuk hiburan. Tarian dengan semangat kepahlawanan ini dijadikan sebagai simbol-simbol keberanian yang banyak digemari oleh masyarakat ramai.
Konon, tarian dabus diperkenalkan oleh pengikut Sayidina Ali (kaum Syiah) yang dipersembahkan untuk memperlihatkan kehebatan dan kekebalan orang Syiah dalam suasana perang agar pihak lawan tidak berani mengganggu mereka. Kesenian ini pernah berkembang di Aceh dengan sebutan daboh melalui pedagang Arab yang datang ke daerah ini, kemudian menyebar ke seluruh nusantara, di antaranya Banten dengan sebutan debus, Bugis dan Perak (Malaysia) dengan sebutan dabus. Perbedaan ini hanya pada sebutan (dialek) bahasa, tidak pada substansinya, yaitu tarian yang memperagakan bahwa para penari itu kebal dengan senjata tajam atau api, dan lain-lain.
Dari Aceh, sekitar tahun 1600 M, dua orang pedagang dari Batu Bahara, bergelar Nakhoda Lembang dan Nakhoda Topah merantau ke Perak dan tinggal di daerah Telaga Nenas, Sitiawan. Selama berada di daerah ini, mereka selalu berlatih dengan memainkan dabus pada malam hari, sehingga menarik perhatian penduduk setempat, lalu dabus dipelajari dan dikembangkan di sana. Setelah itu, mereka pindah ke daerah Pasir Panjang Laut, Bagan Datoh dan Kuala Selangor. Di setiap daerah tersebut mereka sempat mengajari penduduk setempat, sehingga tarian dabus ini berkembang dengan pesat sampai sekarang. Tarian ini sebenarnya gabungan dari tiga jenis seni: nyanyian, tarian dan pertunjukan keberanian yang dilakukan para penari dengan menusukkan anak dabus atau senjata tajam di tubuh mereka.